Untuk anda yang mengaku idealis, dipersembahkan!
"HARGA MATI SEBUAH IDEALISME"
Nasib tragis menimpa salah
seorang tamatan perguruan tinggi di Timur Tengah, pasalnya, karena ia ternyata
tidak hanya membawa pulang ijazah yang diperoleh dari perguruan tinggi
tersebut. Tapi juga di saku hatinya, ketika ia hendak pulang, sempat diselipkan
satu cita-cita untuk tanah tumpah darahnya, dalam khayalannya ia akan bergabung
dalam barisan orang-orang yang berjuang bukan untuk kepentingan pribadi.
Dalam ruang pikirannya telah
terpeta suatu pengabdian tanpa pamrih, penuh semangat pengorbanan. “Tak ada
satu cita-cita pun yang dapat diraih tanpa pengorbanan,” yakinnya. Ikut
berperan dalam membangun negeri yang berharkat dan bermartabat bukan cita-cita “alakadar”
atau “méu keu syarat” (asal ada). Ia yakin cita-cita ini menuntut
totalitas dan pengorbanan tanpa ampun. Perhatiannya tidak mungkin terpecah
sedikitpun untuk melihat kepentingan pribadi dirinya. Ia telah mengukuhkan
tekad untuk hidup di lembah penderitaan atau lembah kekonyolan menurut anggapan
sebagian orang. Meski demikian, ia rela; demi cita-cita yang sudah mengalir di
setiap pembuluh darahnya. Bahkan terkadang dengan tensi tinggi!
Peta di dalam kepalanya menunjuki
bahwa langkah pertama yang mesti ia tapaki adalah bergabung dalam barisan
pejuang anti-kepentingan pribadi. Sebab, dalam hematnya: selama suatu kerja
bukan didorong oleh keinginan untuk mencari kepentingan pribadi, maka ia akan
bermuara kepada kepentingan dan kemaslahatan umat.
Ia semakin larut dalam idealisme.
Sungguh banyak kerja yang harus dilakukan melintas dalam kerangka idealismenya.
Ia mulai bergerak. Ia mulai mendobrak. Ia mulai berenang melawan arus pandangan
yang diletakkan oleh masyarakat untuk orang seperti dia yang ex. perguruan tinggi
terkenal. Status yang diberikan oleh masyarakat untuk dirinya dinilai salah
satu bentuk pelanggaran HAM terhadap dirinya. Status tersebut membelenggu
dirinya. Ia ingin bebas. Ia menginginkan kehidupan yang direkayasanya sendiri
untuk dirinya. Ia ingin hidup untuk sesuatu yang diyakininya. Ia yakin bahwa
Islam mampu menjadi jalan keluar bagi kondisi buruk, materil dan spiritual,
yang dialami oleh orang-orang kampungnya. Ia tidak menyangsikan keIslaman
penduduk kampungnya, tapi yang justru dipertanyakan mengapa Islam yang dianut secara
turun temurun tidak membawa mereka kepada kondisi yang lebih baik dari yang
ada? Ia mulai melakukan penggeledahan. Dalam penggeladahan tersebut sekalipun
tidak ditemukan bukti nyata, tapi ada indikasi bahwa Islam yang sementara ini
dianut oleh penduduk kampungnya bukan Islam itu sendiri, tapi sepenuhnya
tradisi dimana Islam hanya sekedar “background gambar” yang tidak dapat menjawab
persoalan bagaimana meniti hidup di berbagai aspeknya dalam rangka mencari
bekal menuju akhirat.
Tugas semakin berat. Ia percaya
bahwa ia tidak sendiri. Tapi dimana mereka? Ia ingin bergabung untuk memikul tugas
berat tersebut.
Sementara kehidupan pribadinya
semakin sulit. Jarum-jarum penderitaan sedikit demi sedikit mulai menembus
pori-pori, masuk ke berbagai pembuluh darah, dan mulai bergerak untuk membidik
jantung kehidupannya. Kondisi tersebut tidak memberikan banyak kesempatan. Hitungan
mundur ke titik nol sudah dimulai. Hanya ada dua pilihan didepannya: bergerak
cepat dalam waktu yang tersisa atau menegak obat anti-idealisme yang akan
meredakan segalanya. Kedua pilihan berakhir tragis. Namun masih ada jalan
menutup kedua pilihan ini. Bukan dari dirinya, tapi dari mereka! Sebenarnya dengan
mudah ia dapat diselamatkan asalkan mereka dari segala penjuru lapisan dan
bidang bersama-sama membentuk satu barisan kokoh. Barisan anti kepentingan
pribadi. Barisan yang serentak melangkah menuju kebaikan umat. Barisan yang
seiring sejajar berusaha menggapai ridha Allah Ta’ala. Barisan di mana tamatan
perguruan tinggi yang tidak hanya membawa pulang ijazah itu dapat bergabung di dalamnya.
Dan barisan di mana tunas-tunas idealisme yang sudah mulai tumbuh itu tidak
akan mati pucuk, tapi akan tumbuh tegak menghadapi berbagai tantangan demi
membangun bangsa ini dalam keridhaan Allah Ta’ala.
Tidakkah kita ingin menggalang
barisan itu?! Jika tidak, lantas apa yang kita tunggu?! Apakah kita menunggu
seluruh semangat pengorbanan itu layu dan amti sebelum kembang.
Bumi ini sesungguhnya banyak mengandung
benih-benih yang berhati tulus. Cuma saja mereka gagal tumbuh. Sebagian berhasil
dibeli oleh orang-orang yang berbuat untuk kepentingan pribadi. Sebagian yang
lain terintimidasi oleh laknat serta sumpah serapah dari mulut orang-orang yang
berbuat untuk kepentingan pribadi. Yang lain lagi terpaksa menggiring ketulusan
dan idealisme ke tiang gantungan dan membunuhnya dengan tangan sendiri.
Ini sesungguhnya adalah kerugian
yang tidak kalah besar dengan berbagai kerugian yang telah lama dan
berlarut-larut dirasakan. Tentunya kita sudah terlampau dewasa untuk hanya sekadar
bisa mengatakan “kakéuh (sudahlah), apa yang bisa kita lakukan?! Memang sudah
begitu diri!!” dan bukankah ini merupakan sikap pesimis yang amat naïf?!
Wallahul Musta’an!
Dikutip dari âFâQ, Sebuah majalah lokal Aceh yang sempat dibina oleh
seorang guru yang cerminan riwayat hidupnya telah dibaca diatas. Beliau adalah
seorang guru dari penulis blog Bangsa-Bangsa Mulia yang sangat bijaksana dengan
memangku idealisme yang belum ditandingi oleh siapapun!
0 Comments:
Post a Comment