728x90 AdSpace

Latest News

Seberapa Idealiskah anda?

Untuk anda yang mengaku idealis, dipersembahkan!

"HARGA MATI SEBUAH IDEALISME"

Nasib tragis menimpa salah seorang tamatan perguruan tinggi di Timur Tengah, pasalnya, karena ia ternyata tidak hanya membawa pulang ijazah yang diperoleh dari perguruan tinggi tersebut. Tapi juga di saku hatinya, ketika ia hendak pulang, sempat diselipkan satu cita-cita untuk tanah tumpah darahnya, dalam khayalannya ia akan bergabung dalam barisan orang-orang yang berjuang bukan untuk kepentingan pribadi.

Dalam ruang pikirannya telah terpeta suatu pengabdian tanpa pamrih, penuh semangat pengorbanan. “Tak ada satu cita-cita pun yang dapat diraih tanpa pengorbanan,” yakinnya. Ikut berperan dalam membangun negeri yang berharkat dan bermartabat bukan cita-cita “alakadar” atau “méu keu syarat” (asal ada). Ia yakin cita-cita ini menuntut totalitas dan pengorbanan tanpa ampun. Perhatiannya tidak mungkin terpecah sedikitpun untuk melihat kepentingan pribadi dirinya. Ia telah mengukuhkan tekad untuk hidup di lembah penderitaan atau lembah kekonyolan menurut anggapan sebagian orang. Meski demikian, ia rela; demi cita-cita yang sudah mengalir di setiap pembuluh darahnya. Bahkan terkadang dengan tensi tinggi!

Peta di dalam kepalanya menunjuki bahwa langkah pertama yang mesti ia tapaki adalah bergabung dalam barisan pejuang anti-kepentingan pribadi. Sebab, dalam hematnya: selama suatu kerja bukan didorong oleh keinginan untuk mencari kepentingan pribadi, maka ia akan bermuara kepada kepentingan dan kemaslahatan umat.

Ia semakin larut dalam idealisme. Sungguh banyak kerja yang harus dilakukan melintas dalam kerangka idealismenya. Ia mulai bergerak. Ia mulai mendobrak. Ia mulai berenang melawan arus pandangan yang diletakkan oleh masyarakat untuk orang seperti dia yang ex. perguruan tinggi terkenal. Status yang diberikan oleh masyarakat untuk dirinya dinilai salah satu bentuk pelanggaran HAM terhadap dirinya. Status tersebut membelenggu dirinya. Ia ingin bebas. Ia menginginkan kehidupan yang direkayasanya sendiri untuk dirinya. Ia ingin hidup untuk sesuatu yang diyakininya. Ia yakin bahwa Islam mampu menjadi jalan keluar bagi kondisi buruk, materil dan spiritual, yang dialami oleh orang-orang kampungnya. Ia tidak menyangsikan keIslaman penduduk kampungnya, tapi yang justru dipertanyakan mengapa Islam yang dianut secara turun temurun tidak membawa mereka kepada kondisi yang lebih baik dari yang ada? Ia mulai melakukan penggeledahan. Dalam penggeladahan tersebut sekalipun tidak ditemukan bukti nyata, tapi ada indikasi bahwa Islam yang sementara ini dianut oleh penduduk kampungnya bukan Islam itu sendiri, tapi sepenuhnya tradisi dimana Islam hanya sekedar “background gambar” yang tidak dapat menjawab persoalan bagaimana meniti hidup di berbagai aspeknya dalam rangka mencari bekal menuju akhirat. 

Tugas semakin berat. Ia percaya bahwa ia tidak sendiri. Tapi dimana mereka? Ia ingin bergabung untuk memikul tugas berat tersebut.

Sementara kehidupan pribadinya semakin sulit. Jarum-jarum penderitaan sedikit demi sedikit mulai menembus pori-pori, masuk ke berbagai pembuluh darah, dan mulai bergerak untuk membidik jantung kehidupannya. Kondisi tersebut tidak memberikan banyak kesempatan. Hitungan mundur ke titik nol sudah dimulai. Hanya ada dua pilihan didepannya: bergerak cepat dalam waktu yang tersisa atau menegak obat anti-idealisme yang akan meredakan segalanya. Kedua pilihan berakhir tragis. Namun masih ada jalan menutup kedua pilihan ini. Bukan dari dirinya, tapi dari mereka! Sebenarnya dengan mudah ia dapat diselamatkan asalkan mereka dari segala penjuru lapisan dan bidang bersama-sama membentuk satu barisan kokoh. Barisan anti kepentingan pribadi. Barisan yang serentak melangkah menuju kebaikan umat. Barisan yang seiring sejajar berusaha menggapai ridha Allah Ta’ala. Barisan di mana tamatan perguruan tinggi yang tidak hanya membawa pulang ijazah itu dapat bergabung di dalamnya. Dan barisan di mana tunas-tunas idealisme yang sudah mulai tumbuh itu tidak akan mati pucuk, tapi akan tumbuh tegak menghadapi berbagai tantangan demi membangun bangsa ini dalam keridhaan Allah Ta’ala.

Tidakkah kita ingin menggalang barisan itu?! Jika tidak, lantas apa yang kita tunggu?! Apakah kita menunggu seluruh semangat pengorbanan itu layu dan amti sebelum kembang.
Bumi ini sesungguhnya banyak mengandung benih-benih yang berhati tulus. Cuma saja mereka gagal tumbuh. Sebagian berhasil dibeli oleh orang-orang yang berbuat untuk kepentingan pribadi. Sebagian yang lain terintimidasi oleh laknat serta sumpah serapah dari mulut orang-orang yang berbuat untuk kepentingan pribadi. Yang lain lagi terpaksa menggiring ketulusan dan idealisme ke tiang gantungan dan membunuhnya dengan tangan sendiri.

Ini sesungguhnya adalah kerugian yang tidak kalah besar dengan berbagai kerugian yang telah lama dan berlarut-larut dirasakan. Tentunya kita sudah terlampau dewasa untuk hanya sekadar bisa mengatakan “kakéuh (sudahlah), apa yang bisa kita lakukan?! Memang sudah begitu diri!!” dan bukankah ini merupakan sikap pesimis yang amat naïf?! Wallahul Musta’an!

Dikutip dari âFâQ, Sebuah majalah lokal Aceh yang sempat dibina oleh seorang guru yang cerminan riwayat hidupnya telah dibaca diatas. Beliau adalah seorang guru dari penulis blog Bangsa-Bangsa Mulia yang sangat bijaksana dengan memangku idealisme yang belum ditandingi oleh siapapun!

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 Comments:

Item Reviewed: Seberapa Idealiskah anda? Rating: 5 Reviewed By: el asyi