Oleh:
Mawardi Ismail Al-Asyi
“Mempelajari kerajaan-kerajaan kuno ini ternyata
bisa memberi beberapa kunci dalam memahami negara-negara modern ini’. (Paul Michael
Munoz).
Kalimat yang
penulis kutip dari seorang sejarahwan Perancis juga pengarang buku “Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia
dan Semenanjung Malaysia” tersebut adalah benar adanya. Dimana sejarah
memiliki peran penting dalam memberikan konsep bagi kita untuk terus membangun
bangsa menuju puncak kejayaan. Apalagi Aceh yang sudah dikenal dan tercatat
jelas dalam sejarah, memiliki keunggulan luar biasa dan pernah menggetarkan Asia
Tenggara dengan pengaruh kejayaannya.
Hingga saat ini penulis ingin mengajak seluruh kalangan masyarakat untuk terus melihat lebih jauh mengenai usaha pemerintah dalam hal pengembangan sumber daya wisata sejarah Islami yang nantinya akan dipromosikan kepada wisatawan lokal, nasional bahkan internasional. Dalam kesempatan ini, penulis sendiri akan melihat secara objektif tentang potensi yang dimiliki Lamreh, Kecamatan Masjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Kawasan yang dulunya pernah menjadi tempat berdirinya Kerajaan Islam Lamuri, termasuk cikal bakal Kerajaan Aceh Darussalam.
Hingga saat ini penulis ingin mengajak seluruh kalangan masyarakat untuk terus melihat lebih jauh mengenai usaha pemerintah dalam hal pengembangan sumber daya wisata sejarah Islami yang nantinya akan dipromosikan kepada wisatawan lokal, nasional bahkan internasional. Dalam kesempatan ini, penulis sendiri akan melihat secara objektif tentang potensi yang dimiliki Lamreh, Kecamatan Masjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Kawasan yang dulunya pernah menjadi tempat berdirinya Kerajaan Islam Lamuri, termasuk cikal bakal Kerajaan Aceh Darussalam.
Sebenarnya, Lamuri
dapat disejajarkan dengan bandar-bandar perdagangan terkenal lainnya di Asia
Tenggara seperti Barus, Kota Cina, Kampei di Sumatera Utara, Pasai, Tumasik di
Singapura, dan Melaka. Berdasarkan sumber-sumber berita dari catatan Arab, Lamuri telah ada sekitar tahun 900-an Masehi. Mestinya sampai
sekarang pendataan mengenai tinggalan sejarah ini harus terus dilakukan, mengingat
masih kurangnya informasi yang didapat. Disamping itu, Pemkab Aceh Besar justru
terkesan tidak menghiraukan hal ini, terkait keinginan Bupati Mukhlis Basyah
untuk memberikan kawasan yang kaya dengan potensi sejarah Islam ini pada
Investor Jakarta guna pembangunan lapangan golf yang bertaraf Internasional.
Senin
1 Oktober 2012. Pihak Investor pembangun
lapangan golf dari PT. Mestika Mandala Perdana sengaja dihadirkan dalam
pertemuan di The Pade Hotel Banda Aceh, pertemuan itu dihadiri oleh Bupati Aceh
Besar Mukhlis Basyah, tim dari Direktorat Pengembangan Pelestarian Cagar Budaya
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta sebagian kecil unsur terkait
lainnya. Tapi amat disayangkan, pertemuan penting ini tidak diberitahukan
terlebih dahulu, hingga berefek pada ketidakhadiran perwakilan tokoh-tokoh
sejarahwan, arkheolog, budayawan, termasuk tidak diundangnya organisasi-organisasi
kemasyarakatan yang sudah sejak lama menolak rencana pembangunan lapangan golf
di bukit Lamreh tersebut. Ini terkesan tidak adil, bahkan banyak pihak media
yang tidak tahu-menahu tentang acara itu.
Perlu sedikit
penulis informasikan, jika pembangunan lapangan golf di kawasan tinggalan
sejarah Lamuri itu disetujui nantinya, maka sekali lagi pemerintah telah mencoreng
nilai khazanah bangsa Aceh dan memperlihatkan kelemahan tentang
ketidaksanggupan pemerintah daerah dalam membangun cagar budaya untuk daerahnya.
Bahkan penulis sudah berusaha untuk mencari informasi online mengenai potensi
sejarah ke situs resmi Pemkab aceh Besar. Walhasil, penulis tidak menemukan
satu tulisan pun tentang cagar budaya Aceh Besar, padahal Kabupaten ini memiliki
begitu banyak aset sejarah.
Miris memang! Di
satu sisi, kita telah membaca berita gembira yang pernah diterbitkan Serambi
Indonesia beberapa waktu lalu terkait situs wisata Islami. “Aceh adalah daerah
tujuan wisata religius terbesar di Asia Tenggara (Asean). Pemerintah Aceh saat
ini sedang melakukan pembenahan menyeluruh pada objek wisata termasuk
menyiapkan masyarakat sadar wisata. Bahkan Kadis Pariwisata Aceh Jasman J
Ma’ruf mengatakan bahwa pihak Dinas Pariwisata Aceh akan terus menggalang kerja
sama dengan travel di Malaysia untuk mempromosikan wisata religius Aceh.”
(Serambi Indonesia edisi Jumat, 28 September 2012). Di lain sisi pihak Bupati
Aceh Besar justru ingin mengabadikan kawasan Lamreh dalam bentuk objek wisata
yang jauh dari nilai Islami.
Untuk diketahui,
lapangan golf yang rencananya akan dibangun di Kabupaten Aceh Besar bukanlah
satu-satunya dan yang pertama! Setahu kita masih terdapat lapangan golf di
pesisir pantai Lhoknga, bahkan sampai sekarang masih layak untuk dipakai. Jika
memang Bupati Aceh Besar begitu bersikeras ingin membangun lapangan golf,
kenapa tidak merenovasi saja lapangan golf yang lama ini? Budget nya pun bisa
dipangkas.
Anehnya lagi,
pembangunan lapangan golf di areal situs makam raja-raja dan para pembesar
Islam yang menelan dana ratusan milyar ini di klaim bisa menjamin taraf kehidupan
masyarakat Lamreh ke arah yang lebih layak, selain itu pembangunan lapangan
golf ini katanya akan menyerap banyak tenaga kerja. Hemat penulis, justru hal
ini akan mengakibatkan satu-persatu masyarakat Lamreh terdepak dari daerahnya
sendiri, karena ketidaksesuaian kehidupan masyarakat Lamreh dengan kehidupan
modern para pe-golf yang berkunjung nantinya.
Sebaliknya!
dengan konsep yang jelas dan i’tiqad yang jroh (baik), di iringi dengan
memperbanyak belajar pada negara-negara yang sudah berhasil membangun kawasan
situs sejarah Islam, kemudian pemerintah dengan kecerdasan pikirannya
menyerahkan perkara ini pada yang ahli, maka kebesaran dan kekayaan Situs
Kerajaan Lamuri akan dikenal baik oleh Aceh bahkan masyarakat dunia.
Masyarakat Aceh
pada dasarnya memiliki hati nurani untuk tidak mengabaikan apalagi
mengolok-olok warisan sejarah yang telah ditinggalkan oleh indatunya. Hari ini,
begitu banyak organisasi kemasyarakatan di Aceh yang peduli dengan potensi cagar
budaya Islami, ada yang berasal dari kalangan mahasiswa, akademisi, LSM, bahkan
seluruh masyarakat Aceh. Sudah saatnya pemerintah merangkul elemen-elemen ini,
jadikan sejarahwan, arkeolog dan budayawan sebagai mitra kerja pemerintah, hingga
status “Islamic World Heritage City” (Situs Sejarah Islam Dunia) bisa disandang
Aceh dikemudian harinya.
Besar
harapan dan cita-cita Aceh untuk mengulang kejayaannya, maka esok tidak lagi
terdengar kabar tentang carut-marutnya generasi Aceh yang ingin belajar sejarahnya
sendiri. Pelajar/Mahasiswa Aceh tidak perlu lagi menghabiskan banyak biaya untuk
mengambil mata kuliah sejarah di luar negeri. Aceh sudah menyiapkan semuanya.
Generasi Aceh dengan tenang dan berbangga hati bisa menggali banyak ilmu dari
negerinya sendiri. Amin
Yaa Rabbal A’lamin.
0 Comments:
Post a Comment